PENCEMARAN LAUT DITINJAU DARI SUDUT HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
DENGAN
CONTOH KASUS TUMPAHAN
MINYAK
KAPAL
SHOWA
MARU
I.
Pendahuluan
A.
Definisi Pencemaran Laut
Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk
hidup, zat, energi dan/ atau komponen lain ke dalam air atau udara. Pencemaran juga bisa
berarti berubahnya tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/
udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukkannya.
Laut adalah
kumpulan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas yang menggenangi dan
membagi daratan atas benua atau pulau. Jadi laut adalah merupakan air yang
menutupi permukaan tanah yang sangat luas dan umumnya mengandung garam dan
berasa asin. Biasanya air yang ada di darat mengalir dan akan bermuara ke laut.
Pencemaran
Laut menurut Peraturan Pemerintah No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran
dan/atau Perusakan Laut :
Masuknya
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku
mutu dan/atau fungsinya.
Pencemaran laut didefinisikan oleh para ahli yang
tergabung pada badan-badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa :
Introduction by
man, directly or indirectly, of substance or energy into the the marine
environment (including) resulting in such deleterious effects as harm to living
resources, hazardous human health, hindrance to marine activities including
fishing, impairment quality for use of sea water and reduction of amenities.[1]
The United States
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOOA) dalam laporannya dalam kongres
mengenai pembuangan limbah di samudra (ocean
dumping), menyimpulkan pencemaran samudera sebagai berikut :
The unfavourable
alteration of the marine environment....thought direct or indirect effect of
changes in energy pattern, tradition and distribution, abundance, and quality
of organisms.[2]
B. Kategori Pencemar Laut
Pencemar laut dapat dibedakan dalam enam kategori utama,
sebagai berikut :
1. Marine Pollution caused via the atmosphere by land based activities
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan adanya tiga
penyebab utama pencemaran laut golongan pertama ini, yaitu :
a.
Penggunaan berbagai macam “synthethic
chemical” khususnya “chlorinated
hydrocarbons” untuk pertanian;
b.
Pelepasan logam-logam berat (“heavy
metal”) seperti merkuri akibat proses industri atau lainnya;
c.
Pengotoran atmosfer oleh hydrocarbons minyak yang dihasilkan oleh
penggunaan minyak bumi untuk menghasilkan energi;
2. The disposal of domestic and industrial wastes
Pencemaran yang disebabkan oleh pengaliran
limbah domestik atau limbah industri dari pantai, baik melalui sungai “sewage outlets” atau akibat “dumping”
3. Marine Pollution caused by radioactivity
Pencemaran laut karena adanya
kegiatan-kegiatan radioaktif alam ataupun dari kegiatan-kegiatan manusia. Dua
penyebab utamanya adalah percobaan senjata nuklir dan pembuangan limbah
radioaktif, termasuk pencemaran yang disebabkan oleh penggunaan laut untuk
kepentingan militer atau pembuangan alat-alat militer di laut.
4. Ship-borne Pollutants
Pencemaran jenis ini dapat terdiri dari
berbagai macam bentuk kapal dan muatan. Akan tetapi penyebab utamanya adalah
tumpahan minyak di laut, yang dapat dibedakan karena kegiatan kapal seperti
pembuangan air ballast atau karena adanya kecelakaan kapal di laut, terutama
apabila kecelakaan itu melibatkan kapal tanker.
5. Pollution from offshore mineral production
Kegiatan penambangan di dasar laut, terutama
apabila terjadi kebocoran pada instalasi penambangan dan pembuangan limbah yang
tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.[3]
C.
Sumber- Sumber Pencemaran Laut
Banyak penyebab sumber pencemaran air, tetapi secara
umum dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu sumber kontaminan langsung dan
tidak langsung. Sumber langsung meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA
sampah, rumah tangga dan sebagainya.
Sumber tak langsung adalah kontaminan yang memasuki
badan air dari tanah, air tanah atau atmosfir berupa hujan. Pada dasarnya
sumber pencemaran air berasal dari industri, rumah tangga (pemukiman) dan
pertanian. Tanah dan air tanah mengandung sisa dari aktivitas pertanian
misalnya pupuk dan pestisida. Kontaminan
dari atmosfir juga berasal dari aktifitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan
hujan asam.
D. Dampak
Pencemaran Laut
Pencemaran air dapat berdampak sangat luas, misalnya
dapat meracuni air minum, meracuni makanan hewan, menjadi penyebab ketidak
seimbangan ekosistem sungai dan danau, pengrusakan hutan akibat hujan asam dan sebagainya. Di badan air, sungai dan danau,
nitrogen dan fosfat dari kegiatan pertanian telah menyebabkan pertumbuhan
tanaman air yang di luar kendali yang disebut eutrofikasi (eutrofication).
Ledakan pertumbuhan tersebut menyebabkan oksigen yang seharusnya digunakan
bersama oleh seluruh hewan/tumbuhan air, menjadi berkurang. Ketika tanaman air
tersebut mati, dekomposisinya menyedot lebih banyak oksigen. Akibatnya ikan
akan mati dan aktivitas bakteri akan menurun.
Dampak pencemaran air pada umumnya dibagi dalam 4
kategori :
a. Dampak
terhadap kehidupan biota air
b. Dampak
terhadap kualitas air tanah
c. Dampak
terhadap kesehatan
d. Dampak
terhadap estetika lingkungan
Berikut penjelsan
singkat tentang 4 kategori dampak pencemaran air tersebut :
a. Dampak
terhadap kehidupan biota air
Banyaknya zat pencemar pada air
limbah akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam air tersebut.
Sehingga akan mengakibatkan kehidupan dalam air yang membutuhkan oksigen
terganggu serta mengurangi perkembangannya. Selain itu kematian dapat pula
disebabkan adanya zat beracun yang juga menyebabkan kerusakan pada tanaman dan
tumbuhan air. Akibat matinya bakteri-bakteri, maka proses penjernihan air
secara alamiah yang seharusnya terjadi pada air limbah juga terhambat. Dengan
air limbah menjadi sulit terurai. Panas dari industri juga akan membawa dampak
bagi kematian organisme, apabila air limbah tidak didinginkan dahulu.
b. Dampak
terhadap kualitas air tanah
Pencemaran air tanah oleh tinja yang
biasa diukur dengan faecal coliform telah terjadi dalam skala yang luas,
hal ini telah dibuktikan oleh suatu survey sumur dangkal di Jakarta. Banyak
penelitian yang mengindikasikan terjadinya pencemaran tersebut.
c. Dampak
terhadap kesehatan
Peran air sebagai pembawa penyakit
menular bermacam-macam antara lain :
-
Air sebagai media untuk hidup mikroba
pathogen
-
Air sebagai sarang insekta penyebar
penyakit
-
Jumlah air yang tersedia tak cukup,
sehingga manusia bersangkutan tak dapat membersihkan diri
-
Air sebagai media untuk hidup vector
penyakit
Ada
beberapa penyakit yang masuk dalam katagori water-borne diseases, atau penyakit-penyakit
yang dibawa oleh air, yang masih banyak terdapat di daerah-daerah. Penyakit-penyakit
ini dapat menyebar bila mikroba penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air
yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan jenis
mikroba yang dapat menyebar lewat air antara lain, bakteri, protozoa dan
metazoa.
d. Dampak
terhadap estetika lingkungan
Dengan semakin banyaknya zat organik
yang dibuang ke lingkungan perairan, maka perairan tersebut akan semakin
tercemar yang biasanya ditandai dengan bau yang menyengat disamping tumpukan
yang dapat mengurangi estetika lingkungan. Masalah limbah minyak atau lemak
juga dapat mengurangi estetika. Selain bau, limbah tersebut juga menyebabkan
tempat sekitarnya menjadi licin. Sedangkan limbah detergen atau sabun akan
menyebabkan penumpukan busa yang sangat banyak. Inipun dapat mengurangi
estetika.
E.
Dampak
Pencemaran Terhadap Laut.
Air laut adalah suatu komponen yang berinteraksi dengan lingkungan
daratan, di mana buangan limbah dari daratan akan bermuara ke laut. Selain itu
air laut juga sebagai tempat penerimaan polutan (bahan cemar) yang jatuh dari
atmosfir. Limbah tersebut yang mengandung polutan kemudian masuk ke dalam
ekosistem perairan pantai dan laut. Sebagian larut dalam air, sebagian
tenggelam ke dasar dan terkonsentrasi ke sedimen, dan sebagian masuk ke dalam
jaringan tubuh organisme laut (termasuk fitoplankton, ikan, udang, cumi-cumi,
kerang, rumput laut dan lain-lain). Kemudian, polutan tersebut yang masuk ke
air diserap langsung oleh fitoplankton.
Fitoplankton
adalah produsen dan sebagai tropik level pertama dalam rantai makanan. Kemudian
fitoplankton dimakan zooplankton. Konsentrasi polutan dalam tubuh zooplankton
lebih tinggi dibanding dalam tubuh fitoplankton karena zooplankton memangsa
fitoplankton sebanyak-banyaknya. Fitoplankton dan zooplankton dimakan oleh
ikan-ikan planktivores (pemakan plankton) sebagai tropik level kedua. Ikan
planktivores dimangsa oleh ikan karnivores (pemakan ikan atau hewan) sebagai
tropik level ketiga, selanjutnya dimangsa oleh ikan predator sebagai tropik
level tertinggi. Ikan predator dan ikan yang berumur panjang mengandung
konsentrasi polutan dalam tubuhnya paling tinggi di antara seluruh organisme
laut. Kerang juga mengandung logam berat yang tinggi karena cara makannya
dengan menyaring air masuk ke dalam insangnya setiap saat dan fitoplankton ikut
tertelan. Polutan ikut masuk ke dalam tubuhnya dan terakumulasi terus-menerus
dan bahkan bisa melebihi konsentrasi di air.Polutan tersebut mengikuti
rantai makanan mulai dari fitoplankton sampai ikan predator dan pada akhirnya
sampai ke manusia. Bila polutan ini berada dalam jaringan tubuh organisme laut
tersebut dalam konsentrasi yang tinggi, kemudian dijadikan sebagai bahan
makanan maka akan berbahaya bagi kesehatan manusia. Karena kesehatan manusia
sangat dipengaruhi oleh makanan yang dimakan. Makanan yang berasal dari daerah
tercemar kemungkinan besar juga tercemar. Demikian juga makanan laut (seafood)
yang berasal dari pantai dan laut yang tercemar juga mengandung bahan polutan
yang tinggi. Salah satu polutan yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia
adalah logam berat.
WHO (World Health Organization) atau
Organisasi Kesehatan Dunia dan FAO (Food
Agriculture Organization) atau Organisasi Pangan Dunia merekomendasikan
untuk tidak mengonsumsi makanan laut (seafood) yang tercemar logam berat. Logam
berat telah lama dikenal sebagai suatu elemen yang mempunyai daya racun yang
sangat potensial dan memiliki kemampuan terakumulasi dalam organ tubuh manusia.
Bahkan tidak sedikit yang menyebabkan kematian. Beberapa logam berat yang
berbahaya adalah air raksa atau mercury (Hg), Kadmium (Cd), Timbal (Pb),
Tembaga (Cu), dan lain-lain.
F.
Dasar Hukum Pencemaran di
Laut
Dasar Hukum
Lingkungan Internasional terhadap Pencemaran di Laut
a.
Convention on the
Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter (London Dumping) 1972
:
Convention on the prevention of Marine Pollution by Dumping Wastes
and Other Matter atau yang lebih dikenal
dengan London Dumping, adalah konvensi Internasional yang ditandatangani pada
tanggal 29 Desember 1972 dan mulai berlaku pada 30 Agustus 1975 adalah konvensi
internasional yang merupakan perpanjangan dari isi pada Konvensi Stockholm.
Konvensi ini pada dasarnya secara garis besar membahas tentang larangan
dilakukannya pembuangan limbah di lingkungan laut secara sengaja. Tujuan dari
konvensi ini adalah melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari segala
bentuk pencemaran yang menimbulkan kewajiban bagi peserta protokol untuk
mengambil langkah-langkah yang efektif, baik secara sendiri atau bersama-sama,
sesuai dengan kemampuan keilmuan, teknik dan ekonomi mereka guna mencegah,
menekan dan apabila mungkin menghentikan pencemaran yang diakibatkan oleh
pembuangan atau pembakaran limbah atau bahan berbahaya lainnya di laut. Peserta
protokol juga berkewajiban untuk menyelaraskan kebijakan mereka satu sama lain.
Pengertian pembuangan
(dumping) pada protokol 1996 ini adalah setiap penyimpanan limbah di dasar laut
dan lapisan dasar laut atas kapal-kapal, pesawat udara, anjungan-anjungan, dan
setiap tindakan menelantarkan atau menghancurkan tepat di atas anjungan-anjungan
hanya untuk tujuan memusnahkan dengan sengaja. Pengecualian dari definisi ini
adalah pembuangan yang pada protokol ini mendapat tambahan yaitu tindakan
meninggalkan bahan-bahan (seperti kabel, pipa, dan peralatan riset kelautan) di
laut, yang ditempatkan untuk suatu tujuan selain pembuangan.
Kewajiban negara-negara
1.
Kewajiban dari negara
peserta protokol adalah menerapkan prinsip precautionary
approach atau suatu pendekatan kesiapsiagaan untuk melindungi lingkungan
laut dari pembuangan limbah atau bahan lainnya.
2.
Kewajiban yang lain adalah
melaksanakan prinsip Polluters pays
principle, yaitu bahwa pelaku pencemaran harus secara prinsip menanggung
biaya pencemaran.
3.
Kewajiban selanjutnya adalah
untuk tidak boleh memindahkan, baik secara langsung atau tidak langsung,
kerusakan dan suatu kawasan lingkungan lainnya atau mengubah satu bentuk
pencemaran ke bentuk lainnya.
4.
Negara peserta protokol juga
berkewajiban melarang pembuangan setiap limbah atau bahan beracun lainnya
dengan pengecualian yang terdaftar dalam lampiran 1 dimana pembuangannya harus
mendapat izin terlebih dahulu
5.
Negara peserta juga wajib
menerapkan persyaratan administratif atau hukum untuk menjamin bahwa penerbitan
izin-izin dan syarat-syarat perizinan tersebut sesuai dengan yang diatur pada
lampiran 2 protokol 1996 ini. Selain itu praktek pembakaran limbah atau bahan
lain ke negara-negara lain untuk pembuangan atau pembakarannya adalah termasuk
hal yang dilarang dalam protokol ini dan negara peserta harus melarangnya.
Pengecualian-pengecualian
terhadap larangan yang diatur dalam protokol ini adalah keharusan untuk
mendapatkan izin dan melakukan pembakaran di laut bila keadaan darurat akibat
tekanan atau cuaca, atau dalam hal dimana timbul ancaman bahaya terhadap jiwa
manusia dan pembuangan adalah menjadi satu-satunya cara untuk menghindari
ancaman tersebut.Negara peserta wajib untuk menunjuk suatu badan atau
badan-badan untuk menangani perizinan, membuat catatan-catatan tentang sifat
dan banyaknya limbah atau bahan lain serta kualitas dari limbah atau bahan lain
yang sebenarnya telah dibuang, lokasi, waktu serta cara pembuangannya. Badan
tersebut juga melakukan pemantauan secara individu atau bekerjasama dengan
negara-negara peserta lainnya.
6.
Negara peserta juga harus
mengambil beberapa langkah antara lain :
a.
Melakukan pencegahan dan
menghukum tindakan-tindakan yang bertentangan dengan protokol ini.
b.
Menjamin melalui penerapan
yang tepat pada kapal-kapal dan pesawat udara yang dimiliki dioperasikan dan
bertindak menurut cara-cara yang tidak bertentangan dengan protokol ini.
Tindakan pencegahan dan penjaminan
pelaksanaan penerapan yang tepat tersebut diberlakukan terhadap kapal-kapal dan
pesawat udara yang:
a.
Terdaftar di wilayah terbang
atau terbang dengan bendera negara tersebut.
b.
Mengangkut di wilayahnya,
limbah atau bahan lain yang dibuang atau dibakar dilaut.
c.
Melakukan pembuangan atau
pembakaran di laut termasuk anjungan-anjungan.
Pengecualian terhadap keberlakuan
protokol ini adalah bagi kapal-kapal dan pesawat udara yang berhak atas
kekebalan suatu negara berdasarkan hukum internasional dan bahwa hanya negara
tersebut yang dapat menerapkan ketentuan-ketentuan terhadap kapal-kapal dan
pesawat udara yang dimaksud.
Dalam penerapan protokol ini, negara
peserta melakukan pertemuan konsultatif untuk menetapkan prosedur-prosedur dan
mekanisme-mekanisme yang diperlukan untuk mengevaluasi dan mendorong ditaatinya
ketentuan-ketentuan dari protokol ini. Dari rekomendasi pertemuan maka
dibuatlah prosedur dan mekanisme-mekanisme pelaksanaannya, termasuk kerjasama
pelaksanaannya, termasuk kerjasama dengan negara-negara yang bukan merupakan
peserta. Untuk terlaksananya protokol ini, maka dalam suatu kawasan regional
yang memiliki kesamaan geografi dan memiliki kepentingan yang sama terhadap
pencegahan atau bahkan penghentian pencemaran akibat pembuangan atau pembakaran
atas limbah atau bahan lain yang bisa berakibat pada rusaknya lingkungan, maka
dibuatlah perjanjian-perjanjian regional dan juga guna menyelaraskan dengan
konvensi yang berbeda tetapi memiliki relevansi pada protokol ini.
b.
International
Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973/1978 (MARPOL 1973/1978)
Marpol adalah
sebuah peraturan internasional yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
pencemaran di laut. Setiap sistem dan peralatan yang ada di kapal yang bersifat
menunjang peraturan ini harus mendapat sertifikasi dari klas. Isi dalam marpol bukan melarang pembuangan zat-zat pencemar ke
laut, tetapi mengatur cara pembuangannya. Agar dengan pembuangan tersebut laut
tidak tercemar (rusak), dan ekosistim laut tetap terjaga.
Marpol
memuat 6 (enam) Annexes yang berisi regulasi-regulasi mengenai
pencegahan polusi dari kapal terhadap :
·
Annex I - Oil (Minyak)
·
Annex II - Nixious Liquid
Substance Carried in Bulk (cairan Nox
berbentuk curah)
·
Annex III - Harmful
Substance in Packages Form (barang-barang berbahaya dalam kemasan)
·
Annex IV - Sewage (air
kotor/air pembuangan)
·
Annex V - Garbage (sampah)
·
Annex VI - Air Pollution
(polusi udara)
1. Annex I – Oil
(Minyak)
Beberapa aturan tentang cara membuang limbah yang termuat
dalam annex ini dimana kapal masih membuang minyak kelaut dengan ketentuan :
a.
Konsentrasi minyak
harus < 15 ppm (part per million). Kapal dalam keadaan berlayar, lokasi
pembuangan > 12 mil laut dari pantai terdekat.
b.
Tiap 30 liter minyak
harus di buang secara merata sepanjang 1 mil (30 ltr/mil ). Kapal dalam keadaan
berlayar, lokasi pembuangan > 50 mil laut dari pantai terdekat.
Pembuangan keluar kapal, pada umumnya hanya di perbolehkan
dilaut. Tetapi tidak di laut spesial. Ini tidak di perbolehkan. Yang termasuk
dalam laut spesial adalah: Mediterranean sea,
Baltic sea, Black sea, Red sea, Gulf area, Gulf of Aden, Antartic, North
west European waters & North sea.
Peralatan untuk membantu cara pembuangan dan untuk
pengawasan dalam pelaksanaan Marpol:
a.
ODME
b.
CWS
c.
Oil / Water Interfance
Detector
d.
Incinerator
e.
– Oil Record Book Vol
I. untuk kamar mesin. Vol II. Untuk Bag deck.
– Cargo Record Book utk Chemical tanker
– Garbage Record Book.
f.
SOPEP ( Ship Oil
Pollution Emergency Plan )
b.
Annex II - Nixious Liquid
Substance Carried in Bulk (cairan Nox berbentuk curah)
Kategori
bahan-bahan kimia yang dimaksud dalam annex ini adalah:
·
Kategori X:
NOx jika dibuang ke laut dianggap menimbulkan tingkat
bahaya paling tinggi kepada lingkungan laut, kesehatan manusia, sehingga
diberikan larangan untuk pembuangan zat kimia tipe ini.
·
Kategori Y:
NOx jika dibuang ke laut menimbulkan bahaya terhadap
lingkungan laut dan kesehatan manusia, sehingga diberikan batasan mengenai
jumlah dan kualitas zat kimia ini untuk dibuang ke laut.
·
Kategori z:
NOx jika dibuang ke laut menimbulkan bahaya yang relative
kecil terhadap lingkungan laut dan kesehatan manusia, sehingga diberikan
batasan yang tidak terlalu ketat tentang pembuangan zat kimia ini ke laut.
·
Substansi lainnya:
Adalah substansi diluar kategori X, Y, dan Z karena tidak
menimbulkan bahaya apapun jika dibuang ke laut.
c.
Annex III - Harmful Substance in Packages Form (barang-barang
berbahaya dalam kemasan)
Substansi
berbahaya dan kemasan yang dimaksud adalah substansi yang masuk dalam kriteria
IMDG (International Maritime Dangerous
Good) code. Peraturan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pencemaran
laut oleh barang-barang yang memiliki sifat berbahaya (baik secara fisis maupun
kimia) sehingga perlu mendapatkan perlakuan-perlakuan khusus. Sebagai
pengimplementasian dari aturan tersebut, maka harus dilakukan beberapa prosedur
sebagai berikut:
·
Packing:
-
Kemasan harus cukup
untuk meminimalisasi bahaya yang mungkin ditimbulkan kepada lingkungan.
·
Marking and labeling:
-
Kemasan yang berisi
substansi berbahaya harus dilengkapi dengan informasi terperinci dan terpasang
label bahwa merupakan marine pollutant.
-
Material untuk
penandaan dan pemberian label harus bertahan selama 3 bulan pelayaran.
·
Documentation:
Semua barang harus dilengkapi dengan sertifikat-sertifikat
sebagai bahan pemeriksaan.
·
Stowage:
Semua barang yang berbahaya harus tersimpan dengan aman
sehingga tidak menimbulkan pencemaran pada lingkungan laut dengan tidak
membahayakan kapal dan penumpangnya.
·
Quantity limitations:
Pembatasan jumlah substansi yang sekiranya dapat
membahayakan lingkungan laut.
d.
Annex IV - Sewage (air kotor/air pembuangan)
Ada
ribuan spesies laut (termasuk bakteri dan mikrobia yang lainnya, invertebrate
kecil, kista, dan larva berbagai spesies) yang terkandung dalam air ballast
kapal. Ketika kapal melakukan proses ballasting dan deballasting maka akan terjadi
pertukaran organisme di satu daerah dengan daerah lainnya. Proses ini
berlangsung selama bertahun-tahun selama kapal beroperasi di dunia. Hal ini
mengakibatkan keseimbangan ekosistem terganggu. Karena organism asli
bercampur dengan organism pendatang menyebabkan banyak terjadi mutasi genetika.
Untuk
itu dikeluarkan peraturan tentang manajemen air ballast. Hal ini dimaksudkan
untuk megurangi penyebaran organism laut yang tidak terkendali lagi. Berikut
adalah standar manajemen air ballast disesuaikan dengan ukuran kapal dan tahun
pembuatan:
·
Standar
manajemen air balas berdasar regulasi D-1:
a.
Ketika
proses pengisian atau pengosongan ballast, system kapal harus mampu mengisi
atau mengosongkan sedikitnya 95% dari total kapasitas tangki ballast.
b.
Untuk
kapal dengan menggunakan metode pumping-through, kemampuan pompa harus
dapat memompa menerus selama pengisian 3x volume tangki balas.
·
Standar
manajemen air balas berdasar regulasi D-2:
Kapal dengan sistem manajemen air balas
tidak boleh mengeluarkan lebih dari 10 organisme hidup tiap meter kubik
atau setara dengan ukuran lebih dari 50 mikrometer dan tidak boleh mengeluarkan
lebih dari 10 organisme hidup tiap milliliter untuk ukuran kurang dari 50
mikrometer. Indicator discharge mikroorganisme tidak boleh melebihi konsentrasi
yang ditentukan berikut:
·
Toxicogenic
vibrio cholera kurang dari 1 cfu ( colony forming unit ) tiap 100 mililiter
atau kurang dari 1 cfu per gram zooplankton
·
Eschericia
coli kurang dari 250 cfu per 100 mililiter
·
Intestinal
entericocci kurang dari 100 cfu per 100 mililiter
System manajemen
air balas harus disetujui oleh pihak sesuai dengan regulasi IMO.
Ada beberapa
perlakuan untuk menangani masalah ini. Beberapa diantaranya adalah dengan
proses kimia dan proses fisika.
·
Proses
kimia: dilakukan perlakuan khusus terhadap air balas dengan bahan kimia seperti
chlorine atau ozone untuk membunuh organism yang terkandung di dalamnya.
·
Proses
fisika: dapt dilakukan dengan radiasi ultra violet, pemanasan, penyaringan, dan
sedimentasi.
e.
Annex V - Garbage (sampah)
Beberapa tipe sampah dapat diklasifikasi
sebagai berikut:
·
Plastic
( tali sintetis, jala, tas plastic, dll )
·
Sampah
campuran
·
Sisa
makanan
·
Kertas,
kain, kaca, metal
Implementasi regulasi:
·
Pemasangan
plakat
Setiap kapal dengan panjang lebih dari 12
meter harus tersedia plakat sebagai peringatan kepada kru kapal tentang
pembuangan sampah.
·
Ship
garbage management plan
Setiap kapal di atas 400 ton GT dan kapal
dengan kapasitas kru 15 orang atau lebih harus memiliki garbage management plan
yang harus dipatuhi semua kru.
Hal ini termasuk pemisahan sampah
berdasarkan jenisnya, dan pemasangan fasilitas treatment untuk sampah, contoh:
incinerator.
·
Ship
garbage record book
Setiap kapal di atas 400 ton GT dan kapal
dengan kapasitas kru 15 orang atau lebih harus bisa menunjukkan garbage record
book kepada pihak pelabuhan ketika akan berlabuh.
f.
Annex VI - Air Pollution (polusi udara)
1. Persyaratan annex VI dari marpol " Regulation for the Prevention for Air
Pollution from Ships " akan mulai diberlakukan
pada tanggal 19 Mei 2005.
2. Survey dan Sertifikasi dilaksanakan sesuai
Regulasi 5 untuk kapal dengan GT 400 keatas (termasuk anjungan lepas pantai
yang terpasang tetap dan terapung).
3. Untuk kapal dengan GT kurang dari 400 ditetapkan
oleh Pemerintah cq Dit.Jen.Perhubungan Laut.
4. Survey terhadap persyaratan Regulasi 13
Mesin diesel dan perlengkapannya dalam rangka pemenuhannya
terhadap Regulasi 13 dari annex VI harus dilaksanakan
sesuai NOx Technical Code.
Jenis Survey sesuai annex VI adalah
·
Survey
awal (initial survey) dilaksanakan sebelum kapal dioperasikan atau sebelum
sertifikat yang disyaratkan sesuai Regulasi 6 dari annex diterbitkan untuk
pertama kalinya.
·
Survey
berkala/tahunan (periodical/annual survey) pada kurun/interval waktu yang
ditetapkan oleh Pemerintah cq Dit.Jen Perhubungan Laut.
·
Sebuah
survey antara selama masa berlaku sertifikat (sesuai Regulasi 9 masa berlaku
sertifikat adalah 5 tahun).
·
Survey
tahunan dan survey antara harus dilakukan pada sertifikat yang diterbitkan
sesuai Regulasi 6.
·
Semua
jenis survey diatas dilaksanakan untuk memastikan bahwa perlengkapan, sistem,
fitting, susunan dan material memenuhi persyaratan dari annex VI.
·
Rinci
survey lainnya sesuai Regulasi 5.
5.
Sertifikasi/penerbitan
sertifikat. " International Air Pollution Prevention (IAPP) Certificate
" diterbitkan setelah survey dilaksanakan sesuai
persyaratan dalam Regulasi 5 dari annex VI.
·
Sesuai
Regulasi 9 masa berlaku IAPP Certificate adalah 5 tahun terhitung mulai tanggal
diterbitkan dan tidak dapat diperpanjang, kecuali dalam hal-hal sesuai paragrap
3 dari Regulasi 9.
·
Bentuk/Format
IAPP Certificate adalah sebagaimana tercantum dalam APPENDIX I (Regulasi 8)
dari annex VI dan dilengkapi halaman untuk pengukuhan/endorsement untuk survey
tahunan dan survey antara.
·
IAPP
Certificate menjadi tidak berlaku dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Jika pemeriksaan dan survey tidak
dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana tercantum dalam Regulasi 5.
b. Jika perubahan yang signifikan telah
dilaksanakan terhadap perlengkapan, sistim, fitting, susunan dan material tanpa
persetujuan dari Pemerintah cq Dit.Jen.Perhubungan Laut, kecuali jika
penggantian perlengkapan atau fitting telah memenuhi persyaratan annex VI.
6.
Pemeriksaan
dan persetujuan gambar rancangan dari perlengkapan, sistim, fitting, susunan
dan material dari mesin diesel kapal sesuai Regulasi 13 dari ANNEX VI - NOx Code.
7.
Pemeriksaan
persetujuan dan penerbitan "IMO Type Approval Certificate for
Incinerators" dilaksanakan mengacu kepada :
·
Appendix
IV dan Regulasi 16 dari annex VI.
·
Resolusi
MEPC 76 (40) "Standard Specification for Shipboard Incinerators"
·
Resolusi
MEPC 93 (45) "Ammendments to the Standard Specification for Shipboard
Incinerators"
a.
The International Convention on Oil Pollution Preparedness
Response and Cooperation (OPRC)
Konvensi Internasional yang
baru dikeluarkan oleh IMO mengenai kerjasama internasional untuk menanggulangi
pencemaran yang terjadi akibat tumpahan minyak dan barang beracun yang
berbahaya telah disetujui oleh delegasi negara anggota IMO pada bulan Nopember
1990 dan diberlakukan mulai tanggal 13 Mei 1995 karena sudah diterima oleh
kurang lebih 15 negara anggota.
·
Jumlah tersebut telah
dicapai pada tanggal 13 Mei 1994 setelah pemerintah Mexico menyatakan
persetujuannya.
·
Dalam konvensi disebutkan
bahwa apabila terjadi kecelakaan dan pencemaran, tindakan tepat segera diambil
untuk menanggulanginya. Hal ini tergantung adanya kerjasama antara rencana
penanggulangan darurat di atas kapal, instalasi perminyakan lepas pantai dan di
pelabuhan serta fasilitas bongkar muatnya, bersama-sama dengan rencana
penanggulangan darurat nasional dan regional.
·
Konvensi ini bertujuan untuk
mendorong adanya kerjasama dimaksud dan kerjasama internasional beserta
penanggulangannya, yang memungkinkan dapat memobilisasi sarana dan peralatan
secara maksimal secepat mungkin.
·
Konvensi ini dibentuk untuk
menyediakan fasilitas kerjasama dan saling membantu dalam menyediakan dan
menangani pencemaran besar yang terjadi, dan mendorong negara anggota untuk
mengembangkan dan mempertahankan kesanggupannya untuk menanggulangi pencemaran.
·
Konvensi ini berkaitan
dengan masalah persiapan dan tindakan atau respon terhadap pencemaran minyak
dalam segala bentuk termasuk barang beracun dan berbahaya yang mengancam
kelestarian lingkungan maritim.
Garis besar dari konvensi ini adalah:
·
International Cooperation
And Mutual Assistance – Kerja Sama Internasional Saling Membantu
·
Negara anggota setuju
melakukan kerjasama dan saling membantu anggota yang meminta bantuan
menanggulangi pencemaran yang terjadi, dengan ketentuan :
Ø Memiliki kesanggupan dan sarana yang cukup.
Ø Pihak yang meminta bantuan harus membayar kepada pihak yang
membantu biaya bantuan yang diberikan. Untuk negara berkembang, dijanjikan akan
diberikan keringanan pembayaran.
·
Pollution
Reporting – Laporan Pencemaran
Negara anggota menyetujui bahwa kapal, offshore units, pesawat
terbang, pelabuhan dan fasilitas bongkar muat lainnya akan melaporkan semua
pencemaran yang terjadi ke pantai terdekat suatu negara atau ke penguasa pelabuhan negara
tetangga terdekat, dan memberitahukan negara tetangga termasuk IMO.
·
Oil
Pollution Emergency Plans – Rencana Penanggulangan Pencemaran oleh Minyak
Diperlukan untuk :
Ø Kapal tangki minyak ukuran 150 GT atau lebih, dan kapal jenis lain
ukuran 400 GRT atau lebih.
Ø Semua instalasi terpasang atau terapung lepas pantai atau struktur
yang digunakan dalam kegiatan operasi migas, eksplorasi, produksi, dan bongkar
muat.
Ø Semua pelabuhan dan fasilitas bongkar muat yang berisiko
menimbulkan pencemaran.
·
National
And Regional Preparedness and Response Capability – Kesiapan Menanggulangi
·
Dalam pencemaran baik
lingkup nasional maupun regional, suatu konvensi mengharuskan dibentuk sistem
nasional untuk segera menanggulangi secara efektif pencemaran yang terjadi.
·
Ini termasuk dasar minimum
pembentukan National Contingency Plan, penentuan petugas nasional yang
berwenang dan penanggung jawab operasi penanggulangan pencemaran persiapan dan
pelaksanaannya, pelaporan, dan permintaan bantuan yang diperlukan.
·
Setiap anggota, apakah
sendiri ataukah melalui kerjasama dengan negara lain, atau dengan industri
harus menyiapkan:
Ø Peralatan pencegahan pencemaran minimum, yang proporsional dengan
risiko yang diperkirakan akan terjadi dan program penggunaannya.
Ø Program latihan organisasi penanggulangan pencemaran dan rencana
training untuk beberapa personil.
Ø Rencana yang detail dan kesanggupan berkomunikasi untuk menangani
penanggulangan pencemaran.
Ø
Rencana koordinasi
penanggulangan kecelakaan, termasuk kesanggupan untuk memobilisasi sarana yang
diperlukan.
·
Technical Cooperation And Transfer Of
Technology – Kerjasama
Teknik Dan Alih Teknologi.
Kerjasama antara anggota di
bidang teknik dan training agar dapat menggunakan dan memanfaatkan sarana dan
peralatan yang tersedia untuk menanggulangi pencemaran. Selain itu, para
anggota dapat melakukan kerjasama alih teknologi secara aktif.
·
Research
And Development- Penelitian Dan Pengembangan
Kerjasama langsung atau
melalui Badan IMO untuk melakukan simposium internasional secara reguler
tukar-menukar pengalaman dan penemuan baru melakukan penangulangan, peralatan
yang digunakan dan hasil penelitian yang dilakukan, teknologi dan teknik
pemantauan, penampungan, dispersion yang digunakan, pembersihan dan pemulihan
kembali.
·
Internasional
Arrangement and Support – Dukungan Internasional
IMO bertanggung jawab fungsi kegiatan berikut :
Ø Menyebarkan Informasi
Ø Pendidikan dan Training
Ø Technical Service
Ø
Bantuan Teknik
Marine Environment Protection Coomite
(MEPC) IMO, telah membentuk OPRC Working Group, dan terbuka untuk negara
anggota, organisasi non-pemerintah, PBB dan organisasi lainnya untuk
mengirimkan wakilnya. Hasil kerja Working Group dilaporkan ke MEPC dalam
pertemuan yang dilakukan setiap delapan bulan di IMO Headquarters.
Bulan Januari 1991, pada waktu Perang
Teluk terjadi pencemaran besar minyak yang mengancam pantai Persian Gulf. Atas
dukungan dari negara setempat, organisasi semacam ini dibentuk untuk melakukan
pembersihan, dan penanggulangan tumpahan minyak tersebut dengan sukses.
Pada waktu itu, dibentuk juga special
centre di IMO Headquarters untuk mengkoordinasi pelaksanaannya dengan hasil
yang memuaskan. Sejak itu, pusat atau centre yang dibentuk memberikan saran dan
bantuan yang sangat menolong pada kecelakaan lainnya.
b.
International
Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage (Civil Liability
Convention) tahun 1969.
·
Lingkup Aplikasinya
The CLC Convention
aplikasinya pada kerusakan pencemaran minyak mentah (persistent oil) yang
tertumpah dan muatan kapal tangki. Konvensi tersebut mencakup kerusakan
pencemaran lokasi, termasuk perairan negara anggota konvensi, sementara untuk
negara bendera kapal dan kebangsaan pemilik kapal tangki tidak tercakup dalam
lingkup aplikasi dari CLC Convention.
Notasi “kerusakan
pencemaran” (Pollution Damage), termasuk usaha melakukan Pencegahan atau
mengurangi kerusakan akibat pencemaran didaerah teritorial negara anggota
konvensi, (Preventive measures).
The CLC Convention
diberlakukan hanya pada kerusakan yang disebabkan oleh tumpahan muatan minyak
dari kapal tangki dan tidak termasuk tumpahan minyak yang bukan muatan atau
usaha pencegahan murni yang dilakukan dimana tidak ada sama sekali minyak yang
tumpah dari kapal tangki
Konvensi ini juga hanya
berlaku pada kapal yang mengangkut minyak sebagai muatan yakni kapal tangki
pengangkut minyak. Tumpahan (Spills) dari kapal tangki dalam pelayaran “Ballast
Condition” dan spills dari bunker oil atau kapal selain kapal tangki tidak
termasuk dalam konvensi ini, Kerusakan yang disebabkan oleh “Non-presistent
Oil” seperti gasoline, kerosene, light diesel oil, dsb, juga tidak termasuk
dalam CLC Convention.
·
Strict Liability
Pemilik kapal tangki
mempunyai kewajiban ganti rugi terhadap kerusakan pencemaran yang disebabkan
oleh tumpahan minyak dan kapalnya akibat kecelakaan. Pemilik dapat terbebas
dari kewajiban tersebut hanya dengan alasan :
1.
Kerusakan sebagai akibat
perang atau bencana alam.
2.
Kerusakan sebagai akibat dan
sabotase pihak lain, atau
3.
Kerusakan yang disebabkan
oleh karena pihak berwenang tidak memelihara alat bantu navigasi dengan baik.
Alasan pengecualian tersebut diatas
sangat terbatas, dan pemilik boleh dikatakan berkewajiban memberikan ganti rugi
akibat kerusakan pencemaran pada hampir semua kecelakaan yang terjadi.
·
Batas Kewajiban Ganti Rugi
(Limitation of Liability)
Pada kondisi tertentu,
pemilik kapal memberikan kompensasi ganti rugi dengan batas 133 SDR (Special
Drawing Rights) perton dari tonage kapal atau 14 juta SDR, atau sekitar US$
19,3 juta diambil yang lebih kecil. Apabila pihak yang mengklaim (Claimant)
dapat membuktikan bahwa kecelakaan terjadi karena kesalahan pribadi (actual
fault of privity) dari pemilik, maka batas ganti rugi (limit his liability) untuk pemilik kapal tidak diberikan.
·
Permintaan Ganti Rugi
(Channeling of Liability)
Klaim terhadap kerusakan
pencemaran di bawah CLC Convention hanya dapat ditujukan pada pemilik kapal terdaftar.
Hal ini tidak menghalangi korban mengklaim kompensasi ganti rugi diluar
konvensi ini dari orang lain selain pemilik kapal. Namun demikian, konvensi
melarang melakukan klaim kepada perwakilan atau agen pemilik kapal. Pemilik
kapal harus mengatasi masalah klaim dari pihak ketiga berdasarkan hukum
nasional yang berlaku.
·
Asuransi Yang Diwajibkan (Compulsory Insurance)
Pemilik kapal tangki yang
mengangkut lebih dari 2.000 ton persistent oil diwajibkan untuk mengasuransikan
kapalnya guna menutupi klaim yang timbul berdasarkan CLC Convention. Setiap
kapal tangki harus membawa serta surat keterangan asuransi yang dimaksud,
kapal-kapal yang memasuki pelabuhan negara anggota CLC Convention walaupun
negara bendera kapal tersebut bukan anggota konvensi, tetap diwajibkan membawa
serta surat keterangan asuransi dimaksud.
·
Pengadilan Yang Berkompeten
(Competence Of Courts)
Tindak lanjut kompensasi
sesuai CLC hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pengadilan negara
anggota konvensi dilingkungan teritorial di mana kecelakaan tersebut terjadi.
Apabila kecelakaan dan pencemaran terjadi diperairan Indonesia maka
pengadilannya dilakukan oleh Pengadilan Indonesia berdasarkan peraturan dan
hukum yang berlaku. Karena itu Indonesia harus mempunyai peraturan atau perundang-undangan
yang mengatur mekanisme pengadilan dan kompensasi ganti rugi pencemaran minyak.
c.
United Nation Convention on the Law
of the Sea
(UNCLOS 1982).
UNCLOS 1982 merupakan salah satu
ketentuan yang mengatur masalah laut terlengkap dan berhasil disepakati oleh
negara-negara. Hal ini terbukti sejak tahun 1994 UNCLOS 1982 mulai berlaku,
pada tahun 1999 telah diratifikasi oleh 130 negara dan piagam ratifikasi telah
didepositkan ke sekretariat Jenderal PBB termasuk Indonesia.
UNCLOS 1982, terdiri dari 17 bab 320
Pasal, secara isi UNCLOS 1982 tersebut mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
penggunaan istilah dan ruang lingkup, laut territorial, dan zona tambahan,
selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, negara kepulauan, ZEE,
landas kontinen, laut lepas, laut lepas, rezim pulau, laut territorial setengah
tertutup, hak negara tak berpantai untuk masuk dalam dan ke luar laut serta
kebebasan melakukan transit, kawasan, perlindungan dan pelestarian laut, riset
ilmiah kelautan, pengembangan alih teknologi kelautan, penyelesaian sengketa,
dan bab ketentuan umum dan penutup. Disamping isi UNCLOS 1982 juga dilengkapi
dengan lampiran-lampiran.
a.
Ketentuan-ketentuan
Umum berkenaan dengan masalah lingkungan dalam UNCLOS
1982 :
Kewajiban umum negara-negara untuk
melindungi dan melestarikan lingkungan lautnya terdapat atau dinyatakan dalam
seksi I yang mengatur ketentuan-ketentuan umum. Pasal 192 menyatkan bahwa :
States have the
obligation to protect and preserve the marine environment
Ketentuan ini
disusul segera oleh Pasal 193 yang mengatur hak berdaulat negara-negara untuk
menggali sumber kekayaan alamnya. Pasal ini menetapkan bahwa :
States have the
sovereign right to exploit their natural resources pursuant to their
environmental policies and in accordance with their duty to protect and
preserve the marine environment.
Tindakan untuk mencegah mengurangi dan
mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari sumber apapun dapat dilakukan
oleh negara-negara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Mereka harus berusahan
untuk menyerasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka dalam hal ini dengan
menggunakan “the best practical means at their disposal and in accordance with their
capability, individuality or jointly appropriate” (Pasal 194 paragraf 1).
Kegiatan-kegiatan atau hal-hal yang
melintasi batas nasional diatur dalam Pasal 194 paragraf 2 yang menetapkan
bahwa:
States shall take all
measures necessary to ensure that activities under their jurisdiction or
control are so conducted as not to cause damage by pollution to other States
and their environment, and that pollution arising from incidents or activities
under their jurisdiction or control does not spread beyond the areas where they
exercise sovereign rights in accordance with this Convention.
Tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat diatas harus menangani semua sumber pencemaran. Dalam mengambil
tindakan-tindakan tersebut negara-negara harus mencegah atau menjauhi kegiatan
atau tindakan yang dapat merupakan campur tangan yang tidak dapat dibenarkan
dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh negara lain dalam pelaksanaan
hak-hak dan kewajiban mereka sesuai dengan konvensi ini. (Pasal 194 paragraf 4)
Pasal 195 dari bagian ini bertalian
dengan kewajiban untuk tidak mengalihkan kerusakan atau bahaya ataupun
mengalihkan satu macam pencemaran ke bentuk lain, sedangkan Pasal 196 mengatur
penggunaan teknologi baru atau pemasukan jenis bentuk yang asing atau baru.
b. Kerjasama Global dan Regional
Hal
ini diatur dalam seksi 2 yang mengatur kerjasama global dan regional mengenai
hal-hal yang bertalian dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 197 yang menetapkan bahwa :
States
shall cooperate on a global basis and, as appropriate, on a regional basis,
directly or through competent international organizations, in formulating and
elaborating international rules, standards and recommended practices and
procedures consistent with this Convention, for the protection and preservation
of the marine environment, taking into account characteristic regional
features.
Pasal
198 mengatur kewajiban negara-negara untuk memberitahukan negara lain dalam hal
mereka mengetahui adanya suatu bahaya yang mengancam lingkungan laut. Mereka
berkewajiban untuk memberitahukan negara lain yang menurut perkiraan dapat
terkena kerugian (kerusakan lingkungan) demikian dan juga organisasi-organisasi
internasional yang berwenang. Negara-negara juga mempunyai kewajiban untuk
menurut kemampuannya bekerjasama dengan organisasi internasional yang berwenang
untuk merencanakan, mengembangkan dan mempromosikan rencana-rencana darurat (contingency plan) untuk menangani
peristiwa-peristiwa pencemaran laut mereka.
Pasal
200 menetapkan bahwa negara-negara berkewajiban untuk kerjasama langsung atau
melalui organisasi internasional yang berwenang untuk mengadakan penelaahan,
program riset dan pertukaran informasi dan data mengenai pencemaran lingkungan.
Mereka harus turut serta secara aktif
dalam program-program regional dan global untuk memperoleh pengetahuan
guna dapat mengadakan perkiraan daripada sifat dan besarnya pencemaran itu
disertai aliran pencemaran laut itu serta resiko dan usaha untuk mengatasinya.
Negara-negara
harus juga berdasarkan informasi dan data yang diperoleh sesuai dengan Pasal
200, kerjasama secara langsung atau melalui organisasi internasional berwenang
untuk menetapkan ukuran-ukuran ilmiah yang tepat guna merumuskan, menetapkan
peraturan, standard dan praktek-praktek yang diujikan (recommended practice) serta prosedur untuk pencegahan, pengurangan
dan penanggulangan pencemaran lingkungan laut.
Ketentuan-ketentuan
yang dikutip di atas dari seksi 2 daripada Bagian (Part) XII yang mengatur
kerjasama global dan regional dengan jelas menetapkan kewajiban negara-negara
mengadakan kerjasama secara global atau regional untuk mencapai tujuan-tujuan
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
c. Bantuan teknis
Permasalah
tentang bantuan teknis dimulai dari bagian XII seksi 3 dan 4 yang mengatur
bantuan teknis, pemantauan (monitoring) dan penilaian keadaan lingkungan (environment assessment).
Pasal
202 menetapakan bahawa negara-negara secara langsung atau melalui organisasi
internasional yang berwenang akan melakukan hal sebagai berikut :
a) promote programmes of scientific,
educational, technical and other assistance to developing States for the
protection and preservation of the marine environment and the prevention,
reduction and control of marine pollution. Such assistance shall include, inter alia:
(i)
training of their scientific and technical personnel;
(ii) facilitating their participation in relevant international
programmes;
(iii) supplying them with necessary equipment and facilities;
(iv) enhancing their capacity to manufacture such equipment;
(v) advice
on and developing facilities for research, monitoring, educational and other
programmes;
b) provide appropriate assistance,
especially to developing States, for the minimization of the effects of major
incidents which may cause serious pollution of the marine environment;
c) provide appropriate assistance,
especially to developing States, concerning the preparation of environmental
assessments
Pasal 203 menetapkan bahwa negara-negara berkembnag
untuk keperluan pencegahan, pengurangan dan penanggulangan pencemaran
lingkungan laut atau mengurangi akibatnya harus diberkan preferensi oleh
organisasi-organisasi internasional bertalian dengan :
1. Lokasi dana-dana serta bantuan teknis yang
diperlukan dan
2. Penggunaanh jasa-jasa khusus mereka.
d.
Perundang-undangan Nasional
Ketentuan-ketentuan umum mengenai perlindungan dan
pelestrian lingkungan laut yang ditetapkan
dalam Pasal 192 hingga 198 daripada konvensi dan ketentuan-ketentuan
mengenai kerjasama global dan regional yang tercantum dalam Pasal 197 hingga
201 hanya berarti apabila hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara untuk menggali
kekayaan alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan dan sesuai pula dengan
kewajiban untuk melindungi dan menjaga kelestraian lingkungan laut dijabarkan
lebih lanjut secara mendetil dalam perundang-undangan nasional masing-masing
negara.
1.
Dasar Hukum Nasional terhadap Pencemaran di Laut
Beberapa aturan hukum nasional mengenai pencemaran di laut antara
lain :
a.
Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
b.
Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut.
c.
Perpres No.109 Tahun 2006
tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut
II.
Kasus
tumpahan minyak kapal Showa Maru
Kejadian yang
berlangsung pada tahun 1975 ini menjadikannya kasus yang menarik untuk
dijadikan salah satu contoh karena kasus ini terjadi di tengah minimnya
legislasi internasional maupun nasional.
Pada bulan
Januari 1975 kapal tanker Showa Maru,
yang membawa minyak mentah dari Teluk Persia menuju Jepang, kandas dan
menumpahkan minyak di Selat Malaka sehingga menumpahkan minyak mentah sebanyak
7300 ton. Berdasar keterangan dari Mahkamah Pelayaran Indonesia, kandasnya
kapal Showa Maru bermula dari kelalaian nakhkoda yang mana tanker membentur
karang sehingga menyebabkan dasar kapal sepanjang 160 meter sobek.
Sebagai akibat
tumpahan minyak tersebut, langkah cepat segera diambil oleh pemerintah Indonesia
dengan membentuk 3 Satuan Tugas di bawah koordinasi tiga menteri, yaitu Menteri
Perhubungan menangani segi teknis operasional, Menristek menangani urusan
penelitian dan Menteri Kehakiman mempersiapkan perangkat hukum dan ganti
ruginya.
Dari segi hukum,
masalah Showa Maru di waktu itu justru menempatkan Indonesia pada posisi sangat
lemah dan sulit dalam penyelesaian hukum dan tuntutan ganti rugi. Karena selain
belum ada UU Nasional tentang Pencemaran Laut, juga karena konvensi-konvensi
internasional yang ada seperti Konvensi Brussel tahun 1969 belum diratifikasi.
Untuk
mengatasinya, delegasi Indonesia berkonsultasi ke Malaysia, Singapura, Thailand
dan Philipina. Namun upaya delegasi tidak berhasil karena penanggulangan hukum
pencemaran laut di negara-negara tersebut juga masih pada tahap awal, kecuali
Singapura yang sistem hukumnya telah menggunakan pola Konvensi London tahun
1954.
Sementara itu
pakar hukum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH, mengatakan bahwa saat itu kerusakan ekologi laut di Indonesia
sangat sedikit dituntut ganti rugi, karena kerusakan akibat penemaran oleh
tumpahan minyak berada di luar jangkauan asuransi. Peristiwa Showa Maru yang
melemahkan posisi Indonesia, menurut Komar karena kriteria kerusakan, metode
survei dan dasar hukum nasional maupun internasional kurang jelas. Maka klaim
Indonesia -berkaitan kerusakan mata rantai makanan akibat terganggunya ekosistem kelautan oleh
tumpahan minyak- atas kerusakan ekologi laut dalam jangka panjang tidak dapat
diterima.
Akibat jangka
langsung maupun tidak langsung atas kejadian ini adalah nelayan setempat masih
saja mengalami kesulitan mendapat hasil tangkapan ikan seperti sebelum kejadian
kecelakaan kapal dan bahkan penduduk yang biasa mengandalkan hidupnya pada
mencari kayu bakar pun tak luput dari kesusahan. Sebab hutan bakau yang menjadi sumber penghasil kayu
bakar mengalami kerusakan dan kekeringan.
Indonesia sendiri sudah mulai mendapat ganti rugi dari
pemilik Showa Maru, tanker Jepang yang kandas karena bocor di Selat Malaka,
Januari 1975. Pembayaran yang meliputi US $ 1,2 juta itu baru merupakan
pembayaran tahap pertama dan akan digunakan untuk ongkos pembersihan perairan
bagian Indonesia yang tercemar serta pembayaran ganti rugi nelayan yang
sementara ini terputus jalur mata pencarian mereka.
Namun hingga 3 tahun setelah kejadian tersebut masalah
ganti rugi masih saja meninggalkan persoalan bagi penduduk Kabupaten Kepulauan
Riau, yaitu soal ganti rugi bagi penduduk yang menderita kerugian langsung
ataupun tidak langsung akibat tercemarnya wilayah laut.
Pada masa itu, terdapat proyek pembangunan pelabuhan dan
tempat pendaratan ikan di Teluk Antang, Pulau Tarempa namun asal dana proyek
tersebut juga masih simpang siur karena belum tentu merupakan uang ganti
kerugian atau juga sumbangan dari pemilik Showa Maru. Sementara berdasar
keterangan dari Departemen Luar Negeri, mengatakan bahwa perundingan dengan
pemilik kapal baru sampai pada taraf menyetujui biaya pembersihan saja.
Sementara mengenai masalah ganti rugi untuk korban warga sekitar masih dalam
proses dan akan ditangani oleh Departemen Dalam Negeri dengan dibantu oleh
instansi lainnya.
PENUTUP
Penyebab kasus
pencemaran laut tersebut secara umum adalah transportasi minyak, pengeboran
minyak lepas pantai, pengilangan minyak dan pemakaian bahan bakar produk minyak
bumi. Laut yang tercemar oleh tumpahan minyak akan membawa pengaruh negatif
bagi berbagai organisme laut. Pencemaran air laut oleh minyak juga berdampak
terhadap beberapa jenis burung. Air yang bercampur minyak itu juga akan
mengganggu organisme aquatik pantai, seperti berbagai jenis ikan, terumbu
karang, hutan mangrove dan rusaknya wisata pantai. Dan tentu saja, pada
akhirnya nelayan dan petani juga akan mengalami kerugian secara ekonomis.
Demikianlah
pemarapan singkat tulisan tentang Pencemaran Laut dilihat dari sudut pandang
hukum lingkungan internasional
dengan disertai contoh kasus.
Banyak kekurangan dan kealpaan untuk itu diharapkan kepada Ibu dosen pengasuh
mata kuliah ini serta rekan-rekan memberikan saran dan masukan demi
kesempurnaan tulisan ini. Terima kasih.
nice posting
BalasHapusWebsite paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^